PAKAIAN ADAT MINANG

Masyarakat Minangkabau mengenal berbagai jenis busana tradisional, yang penggunaannya hampir selalu dikaitkan dengan fungsi sosial tertentu. Apalagi kalau orang itu memegang peranan penting dalam masyarakatnya, seperti penghulu dan bundo kanduang,seperangkat kain yang membungkus tubuhnya bukan saja berfungsi melindungi tubuh tetapi mengandung makna-makna simbolis yang harus dipegang teguh.
-Pakaian Panghulu 


Seorang panghulu atau ninik mamak, yang digelari datuk oleh masyarakat memegang peranan penting sebagai pemimpin kaumnya dan berhak mengatur sanak keluarga yang terhimpun dalam kaumnya. Oleh karena itu ia memiliki pakaian kebesaran. Masing-masing daerah adat di Minangkabau memiliki variasi yang berbeda, namun secara umum terdiri dari destar, baju hitam longgar, celana hitam lebar, sesamping, kain sandang, keris, dan tongkat. Pakaian kebesaran ini juga disebut pakaian adat, terdiri dari destar sebagai penutup kepala. Biasa disebut saluak batimba (seluk bertimba) terbuat dari kain batik. Bagian muka saluak ditata berkerut-kerut berjenjang dengan bagian atas datar. Kerutan-kerutan tersebut melambangkan aturan hidup orang Minangkabau yang diungkapkan melalui pepatah berjenjang naik bertangga turun.
Kemudian dikenakan baju lengan hitam longgar (besar lengan) dengan leher lepas tidak berkatuk, belah sampai ke dada tanpa kancing. Hal ini melambangkan keterbukaan dan kelapangan dada seorang pemimpin yang tidak suka mengunting dalam lipatan.
Umumnya dipakai celana (sarawa) lapang warna hitam. Celana lapang ini melambangkan kesiagaan, walaupun lapang dibatasi oleh ukua (ukur) dan jangko (jangka) diwujudkan melalui sulaman benang emas pada pinggirnya (minsai). Dalam pepatah dinyatakan ukua panjang tak buliah singkek, jangko singkek tak dapek panjang, artinya ukur panjang tak dapat singkat, jangka pendek tak dapat singkat. Dikenakan pula kain samping (sesamping) yang melilit pinggang di atas lutut dengan sudutnya seperti niru tergantung. Pemakaian samping seperti niru tergantung ini melambangkan kehati-hatian pemakai dalam segala tindak-tanduknya dalam masuarakat. Sesamping ini dipakai terutama saat bepergian dan kebanyakan dipilih warna merah sebagai lambang keberanian serta tanggungjawab. Ragi benang emas yang menghiasinya disebut cukia menandakan bahwa pemakainya memiliki pengetahuan yang cukup di bidangnya.
Pinggangnya dililit cawek (ikat pinggang) dari sutra berjumbai(bajambua alai). Dimaksudkan supaya kokoh luar dan dalam. Bahunya berselempang kain sandang atau kain kaciak dari kain cindai sebagai lambang kebesaran seorang penghulu (ninik mamak). Keris dengan posisi miring ke kiri terselip di perut melambangkan keberanian tanpa bermaksud menghadang musuh melainkan untuk menjadi hakim. Biasanya masih ditambah dengan tongkat untuk berjalan di malam hari atau berdiri lama. Pada hakekatnya tongkat adalah komando anak kemenakan, untuk mengingatkan bahwa penghulu punya penongkat atau pembantu dalam menjalankan jabatannya. Juga melambangkan bahwa tiap-tiap keputusan yang telah dibuat harus ditegakkan penuh wibawa. Sebagai alas kaki dikenakan selop dari beludru.
-Pakaian Bundo Kanduang 

Seorang wanita yang telah diangkat menjadi bundo kanduang (bunda kandung) memegang peranan penting dalam kaumnya. Tidak semua wanita dapat menjadi bundo kandungan. Ia haruslah orang yang arif bijaksana, kata-katanya didengar, pergi tempat bertanya dan pulang tempat berita. Ia juga merupakan peti ambon puruak , artinya tempat atau pemegang harta pusaka kaumnya. Oleh karena itu memiliki pakaian adat yang berbeda dengan wanita lainnya. Seperti juga pada pakaian penghulu, masing-masing daerah adat di Minangkabau memiliki variasinya masing-masing. Tetapi umumnya kelengkapan pakaian bundo kanduang terdiri dari tengkuluk, baju kurung, kain selempang, kain sarung, dan berhiaskan anting-anting serta kalung.

Seorang bundo kandung mengenakan tengkuluk tanduk atautengkuluk ikek sebagai penutup kepala. Bahannya berasal dari kain balapak tenunan Pandai Sikat Padang Panjang . Bentuknya seperti tanduk kerbau dengan kedua ujung runcing berumbai dari emas atau loyang sepuhan. Pemakaian tengkuluk ini melambangkan bahwa perempuan sebagai pemilik rumah gadang. Baju kurungnya berwarna hitam, merah, biru atau lembayung ditaburi dengan benang emas. Pinggirnya dihias minsai sebagai lambang demokrasi tetapi dalam batas-batas yang patut. Di bahu kanannya berselempang ke rusuk kiri kain balapak, melambangkan tanggungjawab yang harus dipikul oleh bundo kanduang untuk melanjutkan keturunan. Penutup badan bawah digunakan kain sarung (kodek) balapak bersulam emas. Sarung ini berfungsi religius bagi pemakainya, sebagi simbol meletakkan sesuatu pada tempatnya seperti pepatah memakan habis-habis, menyuruk (bersembunyi) hilang-hilang.
Perhiasan yang dikenakan adalah subang atau anting-anting dari emas. Kalung dari beberapa macam, yaitu kalung kuda, kalung pinyaram, kalung gadang, dan kalung kaban. Tangannya dihiasi gelang gadang (besar), gelang bapahek dan gelang ular. Pemakaian gelang melambangkan bahwa semua yang dikerjakan harus dalam batas-batas kemampuan.
-Pakaian sehari-hari
Para wanita, khususnya yang telah berumur dalam kesehariannya mengenakan baju kurung ke luar, lambak/kodek atau kain sarung, dan selendang pendek. Baju kurung ke luar lengannya panjang dan dalamnya sampai di bawah lutut terbuat dari berbagai jenis bahan sesuai kemampauan. Lambak atau kodek, yang juga disebut kain sarung dapat berupa kain songket, batik, sarung bugis ataupun kain pelekat. Tutup kepalanya dari selendang pendek dengan ujung tergerai ke belakang. Variasi lain dikenakan tengkuluk, sementara selendang tersampir di bahu. Kadang-kadang juga dilengkapi dengan pemakaian beberapa perhiasan, seperi kalung, anting-anting serta cincin.
Kaum prianya, sehari-hari mengenakan celana batik tanpa pisak, baju putih model gunting cina dan peci/kopiah. Pilihan warna putih pada baju melambangkan kebersihan dan kemurnian para pemakainya. Model gunting cina merupakan model pakaian longgar menujukkan pakaian sehari-hari. Khusus pada pakaian penghulu, bila ada sulaman menandakan kerajinan anak kemenakan yang mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Lelaki muda lebih suka mengenakan peci dari bahan beludru warna hitam sebagai penutup kepala. Pemakaian peci oleh penghulu masih dibalut dengan destar hitam yang mempunyai kerutan-kerutan. Destar dengan kerutan ini melambangkan aturan adat berjenjang turun, bertanggan naik, bermakna seseorang tidak boleh menurut kehendak sendiri.
Sebagai pelengkap dibahunya tersampir kain bugis (bugih), yang pada saat waktu sholat dapat digunakan semestinya. Tidak ketinggalan tongkat "manau sonsang" ikut melengkapi pakaian yang dikenakan oleh penghulu.

0 komentar:

Posting Komentar